Fitna : Ironi Kebebasan Berekspresi

Oleh Akhmad Kusaeni

Jakarta (ANTARA News) - Fitna adalah fitnah. Dan fitnah lebih kejam dari pembunuhan!

Dalam bahasa Arab, fitna berarti kebohongan yang disebarkan dengan niat buruk: untuk menjatuhkan. Paling tidak untuk mencemarkan nama baik. Pembunuhan karakter.

Arti lain dari fitna adalah kehebohan. Kegaduhan. "Upheaval".

Fitna juga judul sebuah film pendek berdurasi 16 menit buatan politisi sayap kanan Belanda, Geert Wilders, yang ditayangkan di Internet pekan lalu.

Meminjam istilah pemerintah Belanda -- yang tidak melihat manfaat film ini kecuali hanya untuk menyinggung perasaan -- Fitna jelas telah melahirkan kehebohan.

Kegaduhan yang terjadi menyusul penayangan Fitna mulai merebak di jalan-jalan bukan saja di negeri-negeri Muslim yang terhujat karena Islam disamakan dengan kekerasan. Tapi juga di negeri-negeri non Muslim, di Eropa dan Amerika, yang merasa kebebasan bicara dan berekspresi diselewengkan untuk menghujat agama dan penganutnya.

Di Karachi, Pakistan, para pengunjuk rasa meneriakkan "Mati untuk si pembuat film".

Di Jakarta, kelompok Front Pembela Islam (FPI) berdemo di depan Kedubes Belanda dengan membawa poster besar "Geert is The Great Satan".

Mereka menuntut Belanda meminta maaf atas perilaku Wilders.

"Jika tidak, kami mengancam akan mengusir semua warga negara Belanda serta Duta Besarnya," kata Djaelani, pimpinan pengunjuk rasa.

Secara lebih formal, protes keras disuarakan.

Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad mengajak negara-negara Muslim memboikot produk Belanda.

Pemerintah Indonesia resmi melarang penayangan Fitna di media massa ataupun Internet. Penayangan film itu, menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, "hanya akan menimbulkan perpecahan di antara kita".

Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang mewakili 57 negara berpenduduk Muslim, mengutuk Fitna sekeras-kerasnya.

Pernyataan pers OKI mengklaim film Wilders sebagai "tindakan sengaja untuk mendiskreditkan Muslim" yang bertujuan "untuk memprovokasi terjadinya keonaran dan kekacauan".


Membuat marah

Meski sebagian pengunjuk rasa maupun pemimpin dunia Muslim belum sempat menonton dengan mata kepala sendiri, yang diberitakan oleh media mengenai tayangan Fitna sungguh membuat marah.

Wilders, yang dikenal sebagai anti imigran, menayangkan Fitna di Internet setelah stasiun-stasiun televisi menolak memutarnya. Film itu menggambarkan seorang ulama mengutip ayat Al-Quran yang diselingi tampilan kekerasan.

Berusaha mengidentifikasikan Islam dengan kekerasan, film itu menggabungkan beberapa gambar video mengenai tindakan teroris mulai dari serangan 11 September, pengeboman kereta api di Spanyol, dan pembunuhan Theo van Gogh, seorang sutradara film Belanda.

Seolah-olah ayat-ayat Al-Qur'an itulah yang menjustifikasi tindakan terorisme itu.
Film diakhiri dengan seruan Wilders kepada kaum Muslimin untuk "menghapuskan ayat-ayat kekerasan dari kitab suci Al-Qur'an".
Menurut Wilders, yang juga seorang anggota parlemen Belanda, Islam dan Al-Qu'an merupakan faktor berbahaya yang merusak kebebasan di Belanda.
"Saya harus mengingatkan masyarakat mengenai bahaya ini," katanya, mengenai alasan pembuatan dan penayangan filmnya yang kontroversial.

Keruan saja pola pikir macam Wilders ini dikecam di seluruh dunia, bahkan di Belanda, negerinya sendiri. Ini sebuah ironi dari kebebasan berekspresi.

Perdana Menteri Belanda Jan-Peter Balkenende tidak setuju dengan apa yang ingin digambarkan oleh Wilders bahwa Islam identik dengan kekerasan

"Ini adalah hari paling menyedihkan dari kebebasan berbicara dan berekspresi," tulis Shabana, yang mengomentari penayangan film Fitna di situs Internet Liveleak.com.

Yang disebut paling menyedihkan oleh Shabana adalah Wilders mau melarang Al-Qur'an (di Belanda), tapi pada saat yang sama, dia menganggap sebagai pelanggaran dari kebebasan berekspresi bagi pihak-pihak yang ingin filmnya dibreidel karena menghujat Islam.

"Ini munafik dan sangat menjijikan," tulis Shabana.

Slovenia, yang sekarang menduduki jabatan Presiden Uni Eropa, dalam sebuah pernyataan mengatakan kebebasan berekspresi merupakan bagian dari nilai-nilai yang dianut bangsa Eropa.

Namun, lanjutnya, hal itu harus dilaksanakan dalam semangat menghormati kepercayaan agama lain.

Saling menghormati dan menghargai adalah nilai-nilai universal yang harus dijadikan acuan. "Kami percaya, film tersebut tidak memiliki manfaat lain kecuali menyebarkan kebencian," demikian pernyataan Uni Eropa.


Tak bebas menghujat

Kebebasan berekspresi memang merupakan bagian dari hak asasi. Tapi itu tidak berarti bebas untuk menghujat dan menghina (agama dan penganutnya).

Kebebasan beragama dan beribadah juga merupakan kebebasan yang juga dilindungi oleh Konvensi Hak Asasi Manusia.

Freedom of religion setara dengan Freedom of Speech.

Satu sama lain tidak boleh meniadakan, apalagi menistakan.

Apa yang dilakukan Komunitas Umat Beragama Indonesia (KUBI) yang mengirimkan surat protes ke pemerintah Belanda pada 13 Maret 2008 sudah tepat.

Pemutaran film itu sangat menyakiti perasaan umat Islam dan dapat menciptakan ketegangan baru bagi peradaban dunia, termasuk antara para pemeluk agama.

Menggambarkan Islam sebagai agama yang menyerukan kekerasan bukan hanya sesat dan menyesatkan, tapi juga merupakan fakta gamblang betapa orang-orang macam Wilders tidak sensitif terhadap dunia Muslim dengan 1,3 miliar pengikutnya. (*)